Sejarah

MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA


Tokoh-tokoh Penyebar Islam di Indonesia Para pedagang Arab yang berasal dari semenanjung Arabia ke pesisir utara Sumatera (Aceh) pada Abad ke-7 Masehi itu selain berdagang mereka juga menjadi penyebar agama Islam dan melakukan perkawinan dengan wanita setempat. Sekalipun penduduk pribumi belum banyak yang memeluk agama Islam, tapi komunitas Muslim pertama telah terbentuk yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal, seperti yang didapatkan para pengelana Cina di pesisir utara Sumatera (Aceh) dan komunitas Islam di wilayah Sriwijaya. Meskipun Islam telah masuk ke wilayah Indonesia sejak abad ke-7 Masehi, penyebaran Islam baru berjalan secara massif pada abad ke-12 dan 13 Masehi. Sedikit berbeda dengan perkenalan Islam pertama pada abad ke-7, menurut A. Johns, para penyebar Islam pada abad ke-12 adalah para dai dari kalangan sufi. Mereka inilah yang memainkan peranan penting (prime mover) dalam proses penyebaran Islam di kawasan Nusantara. Faktor utama yang menunjang keberhasilan Islamisasi ini adalah kemampuan para sufi menyajikan kemasan Islam yang atraktif, menekankan aspek-aspek keluwesan ajaran Islam khususnya tasawuf dengan mistisisme setempat. (Azra,32-33) Dalam catatan A. Hasymi, berdasarkan naskah Idhar al_haqq fi Mamlakat Ferlah wal Fasi, karangan Abu Ishak Al-Makarani Al-Fasi, Tazkirat Tabaqat Jumu Sultanul Salatin karya Syaikh Syamsul Bahri Abdullah Al-Asyi, dan Silsilah Raja-raja Perlak dan Pasai, menyatakan bahwa kerajaan Perlak, Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia yang didirikan pada tanggal 1 Muharam 225 H (840 M) dengan raja pertamanya Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdil Aziz Syah. Tokoh penting yang menyebarkan Islam di Perlak adalah Nakhoda Khalifah. Pada tahun sekitar abad 9 Nakhoda Khalifah membawa anak buahnya dan mendarat di Perlak. Di samping sebagai kapal dagang kapal itu mengangkut para juru dakwah yang terdiri dari orang Arab, Persia, dan India. Dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak secara sukarela menganti agama mereka dari Hindu-Buddha menjadi Islam. Salah satu anak buah Nakhoda Khalifah kemudian mengawini puteri raja perlak dan melahirkan anak yang bernama Sayid Abdul Aziz yang kemudian memproklamirkan Kerajaan Perlak. Ibu kotanya yang semula bernama Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah sebagi perhargaan terhadap Nakhoda Khalifah. (A. Hasymi, 1993:146-147). Sementara itu, menurut Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis 1350 H), seorang ulama bernama Syekh Ismail datang dengan kapal dari Mekah via Malabar ke Pasai. Ia berhasil mengislamkan Meurah Silu, penguasa setempat, yang kemudian berganti gelar dengan nama Malik Al-Shalih yang wafat pada tahun 1297 M. Seabad kemudian sekitar tahun 1414 M, menurut Sejarah Melayu (ditulis setelah 1500 M), penguasa Malaka juga telah diislamkan oleh Sayyid Abdul Aziz, seorang Arab dari Jeddah. Penguasa yang bernama semula Parameswara itu akhirnya berganti nama dan gelar Sultan Muhamamd Syah. Historiografi lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa, (ditulis tahun 1630), seorang dai bernama Syekh Abdullah Al-Yamani dari Mekah telah mengislamkan Phra Ong Mahawangsa, penguasa Kedah, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Muzahffar Syah. Sedangkan, sebuah historiografi dari Aceh yang lain menyebutkan bahwa seorang dai bernama Syekh Jamalul Alam dikirim Sultan Usmani (Ottoman) di Tukri untuk mengislam penduduk Aceh. Riwayat lain menyatakan bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh Syekh Abdullah Arif sekitar tahun 1111 M. (Azra, 1998:29-30). Riwayat lain, Prof. DR. Wan Husein Azmi menyebutkan bahwa dalam dakwah Islam di Nusantara terdapat sekumpulan juru dakwah yang diketuai oleh Abdullah Al-Malik Al-Mubin. Para juru dakwah ini dibagi menurut daerah masing-masing. Syekh Sayid Muhammad Said untuk daerah Campa (Indo-Cina), Syekh Sayid Ahmad At-Tawawi dan Syekh Sayyid Abdul Wahab ke Kedah (Malaysia), Syekh Sayyid Muhammad Daud ke Pattani (Thailand), (Malaysia), Syekh Sayyid Muhamad untuk Ranah Minangkabau (Indonesia), dan Abdullah bin Abdul Malik Al-Mubin untuk daerah Aceh sendiri. Tokoh lain yang berperan dalam Islamisasi di pulau Sumatera adalah Said Mahmud Al-Hadramaut. Ia telah berhasil mengislamkan Raja Guru Marsakot dan rakyatnya yang berada wilayah Barus (Sumatera Utara). Sementra itu seorang pelancong Eropa Mabel Cook Cole pada tahun 1951 menyatakan bahwa seorang muslim bernama Sulaiman telah sampai di Pulau Nias pada tahun 851 M. Al-Mubin berada di Aceh sekitar tahun 1408-1465 M pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Inayat Syah. Sedang di Deli, penyebar Islam di sana adalah Imam Shadiq bin Abdullah (w. 27 Juni 1590 M). Makamnya berada di daerah Klumpang, Deli, bekas Kerajaan Haru. Di Sumatera bagian barat dan tengah tokoh penyebar Islam utama adalah Syekh Burhanudin Ulakan, meskipun ada indikasi kuat Islam telah masuk pada abad-abad sebelumnya. Ia adalah orang Minangkabau asli penganut Tarekat Syatariyah. Sewaktu berdagang di Batang Bengkawas, Burhanudin yang masih bernama Pono beserta orang tuanya bertemu dengan saudagar Gujarat yang bernama Illapai. Pono dan orangtuanya meninggalkan agama Budha dan masuk Islam. Karena ditentang sukunya, ia pindah ke Sintuk (Pariaman) pada tahun 1659. Ia pergi ke Aceh berguru kepada Syaikh Abdurrauf Singkil. Selanjutnya ia mendirikan pusat penyebaran Islam di Ulakan yang kemudian dianggap sebagi pusat penyebaran Islam di Sumatera bagian tengah. (Mastuki dkk., 2003: Di Siak (Riau), Sayyid Usman Syahabudin adalah ulama yang alim dan berakhlak yang telah menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Siak. Karena akhlaknya yang mulia, ia dikawinkan dengan putri raja yang bernama Tengku Embung Badariah. Dari perkawian merekalah yang kemudian menurunkan raja-raja Siak. Pendakwah lain adalah Habib Umar bin Husein As-Saggaf yang diberi gelar Tuan Besar Siak. (Syamsu,1999:18). Seperti disinggung Azra, sejak abad ke-7 sudah terbentuk komunitas Muslim di wilayah Kerajaan Sriwijaya berkat jasa para pedagang Arab sejak masa khilafah Bani Umayyah (661-750 M). Tokoh-tokoh penyiar Islam sesudahnya yang paling penting adalah Adipati Arya Damar, seorang Adipati Majapahit yang memeluk Islam atas ajakan Raden Rahmat --yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Ampel-- yang mampir di Palembang dari Campa. Ini berarti pengislaman Palembang telah lebih dahulu daripada Minangkabau atau pedalaman Jawa. Pada masa Sultan Muhammad Mansur, terdapat ulama besar yang bernama Sayyid Jamaluddin Agung yang dikenal dengan julukan Tuan Fakih Jalaludin yang menyebarkan Islam ke wilyah Ogan Komerign Ulu dan Ilir bersama ulama lainnya yang bernama Sayyid Al-Idrus. Di samping itu ada ulama lain pada zaman kesultanan Palembang seperti Syekh Abdushamad Al-Falembani. Mengenai Islamisasi Jawa, sebenarnya hubungan antara pesisir utara Jawa Timur, Jawa Barat, dan Malaka sudah terjalin sebelum kerajaan Demak muncul. Sampai dengan tahun 1526 hubungan kerajaan Sunda dan Portugis masih terjalin sesuai dengan perjanjian tahun 1522. Dalam perjanjian itu Portugis diizinkan terlibat dalam perdagangan dan mendirikan loji di Sunda Kelapa. Hal ini diperkuat oleh Carita Purwaka Caruban Nagari (ditulis Pangeran Arya Cerbon tahun 1720). Artinya, kedatangan Islam di pesisir utara Jawa Barat semasa dengan kedatangan Islam di pesisir Jawa Timur. (Uka Tjandrsasmita, 2002, h. 15) Sementara itu tokoh sentral penyebaran Islam di Pulau Jawa, para penulis sejarah sepakat menunjuk para ulama yang kemudian dikenal dengan julukan Wali Sanga (Sembilan Wali). Menurut kebanyakan penulis, yang dimaksud dengan Wali Sanga adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Suana Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria. Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu penyebar Islam pertama di Jawa. Ia dicatat sebagai orang yang mengislamkan pesisir utara Jawa dan bahkan beberapa kali membujuk Raja Wikramawardhana (berkuasa 1386-1429), penguasa Majapahit, untuk masuk Islam. (Azra, 30). Nama lainnya adalah Maulana Magribi. Ia adalah seorang ulama yang berasal dari Arab, keturunan Imam Ali Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad SAW. (Syamsu,30). Penyebaran Islam di wilayah Majapahit semakin memiliki momentum setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang Arab dari Campa. Ia digambarkan memiliki peran yang menentukan dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa dan dipandang sebagai pemimpin Wali Sanga dengan gelar Sunan Ampel. Di Ampel (Surabaya) dia mendirikan pusat pendidikan Islam (pesantren). (Azra, 30). Ayahnya bernama Ibrahim Asmoro, tokoh penyebar Islam di Campa (Indo-Cina) yang menikah dengan putri Raja Campa. Makamnya berada di Tuban yang dikenal dengan Sunan Nggesik. Sementara itu putri Raja Campa lainnya, Dwarawati menikah dengan Angkawijaya alias Wikramawardana. Pertama kali ia datang di Gresik disambut seorang ulama Arab yang bernama Syekh Jumadil Kubro. Meski ia gagal membujuk Wikramwardhana masuk Islam, tapi ia diberikan kebebasan untuk menyiarkan Islam dan diberikan kekuasaan di Ampel Denta. Sehingga ia dikenal dengan Sunan Ampel. Wafat dan dimakamkan di Ampel, Surabaya (Syamsu, 42) Selanjutnya Sunan Giri alias Raden Paku alias Jaka Samudra, putra Maulana Ishak. Maulana Ishak sendiri adalah seorang Arab yang diutus Raja Pasai untuk mengislamkan Blambangan, Jawa Timur. Alkisah, Maulana Ishak berhasil mempersunting Putri Sekardadu, putri Raja Menak Sembayu. Namun khawatir akan perkembangan Islam yang pesat di Blambangan, Raja Blambangan memerintahkan untuk membunuh Maulana Ishak, tapi ia berhasil menyelamatkan diri. Jasa besar Sunan Giri dalam menyiarkan Islam adalah mengirimkan murid-muridnya untuk menyiarkan Islam ke pelosok Nusantara seperti, Madura, Bawean, Kangean, bahkan sampai Ternate. Belaiu wafat dan dimakamkan di Giri, Gresik. (Syamsu, 47-50). Sunan Kudus alias Jafar Shadiq adalah penyebar Islam di Kudus, Jawa Tengah. Menurut penelitian Syamsu, ia adalah putra Sunan Ampel. Ia wafat dan dimakamkan di Kudus. Putra Sunan Ampel yang lain adalah Sunan Bonang yang bernama asli Makhdum Ibrahim. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila, putri Adipati Tuban. Saudara-saudaranya adalah Nyi Ageng Maloka, Syarifuddin Hasyim (Sunan Drajat), dan seorang putri lagi, istri Sunan Kalijaga. Sunan Bonang wafat tahun 1001 H dan dimakamkan di Tuban. Sedangkan Sunan Gunung Jati adalah putra seorang anak sultan dari Mesir yang menikah dengan Nyai Larasantang, putri Raja Siliwangi. Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Ia berhasil mengislamkan penduduk Jawa Barat. Ia berhasil pula menaklukan Sunda Kelapa dan mengusir Portugis dari sana serta menggantinya dengan nama Jayakarta (Jakarta). Ia berhasil mendirikan kesultanan Banten antara tahun 1521-1524. Tahun 1526 M ia rebut Cirebon dan Sumedang. Tahun 1530 seluruh Galuh telah memeluk Islam. Hanya tersisa Pakuan ibukota Pajajaran yang menjadi benteng terakhir kerajaan Hindu. Keturunannya menjadi sultan di Banten dan Cirebon. (Syamsu, 60-63). Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Wali Sanga yang sangat lekat dengan Muslim di Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak. Mengenai asal usulnya ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah. Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias Abdurrahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I (Abdurrahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Rasulullah. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria. Sunan Muria atau Raden Prawoto adalah seorang sufi yang memiliki pesantren di kaki gunung Muria, Jepara Jawa Tengah. Masih dalam koteks penyiaran Islam di Jawa, Pulau Madura adalah bagian yang ikut terislamisasikan pada abad ke-15 M. Ulama yang berhasil mengislam Sumenep adalah Sunan Padusan alias Raden Bandoro Diwiryipodho alias Usman Haji. Ia berhasil mengislamkan penguasa Sumenep Pangeran Secodoningrat III pada tahun 1415 Masehi. Sunan Padusan adalah penyiar Islam keturunan Arab yang tinggal di Padusan, kemudian pindah ke Batuputih. Sedang penyiar Islam di Sampang adalah Buyut Syekh, seorang sayyid keturunan Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad. Di samping itu ada juga Empu Bageno, murid Sunan Kudus. Ia berhasil mengislamkan Raja Arosbaya yang kemudian bergelar Pangeran Islam Onggug. Sementara itu penyebaran Islam di wilayah Timur Indonesia sudah dikenal sejak sebelum abad ke-14. Hal itu sesuai dengan dengan masa kedatangan para pedagang muslim melalui jalur pelayaran dan perdagangan internasional dari Timur Tengah, India, Samudera Pasai, Malaka, pesisir utara Jawa, terutama Jawa Timur, sampai ke daerah Maluku. Sejak masa raja ke-12 (berkuasa 1350-1357) Islam telah datang ke Ternate. Raja itu bernama Malomateya yang bersahabat dengan seorang Arab yang memberi petunjuk cara membuat kapal. Namun raja tersebut belum lagi memeluk Islam. Baru pada masa Raja Gapi Buta (1465-1486) di Ternate, datang seorang Maulana dari Jawa yang bernama Maulana Husein. Raja Gapi Buta pun beserta rakyatnya masuk Islam. Ia menganti namanya dengan Sultan Zainal Abidin dan setelah wafat dikenal dengan Raja Marhum. Menurut catatan Tome Pires, raja Maluku memeluk Islam kira-kira tahun 1465 M. Di Tidore ada pula seorang pendakwah dari Arab yang bernama Syekh Mansur yang telah berhasil mengajak Raja Tidore Kolano Ciriliyati untuk memeluk Islam. Kemudian ia berganti nama dan gelar menjadi Sultan Jamaluddin. Adapun penyiar Islam di daerah Seram adalah Maulana Zainal Abidin pada tahun 827 M dan muridnya, Kapitan Iho Lussy. Penduduk pulau Seram memeluk Islam berkat jasa keduanya, dibangun sebuah Mesjid diberi nama Al-Punaka dengan Imam pertamanya adalah Imam Mawane. Anak cucu Kapitan Iho Lussy inilah yang memimpin perang melawan belanda pada tahun 1817 Masehi. Sementara masuknya Islam di Maluku Tengah sendiri adalah berkat jasa para pedagang dan penyiar Islam dari Jawa Timur. (Uka Tjansasmita, 2002: 15; Saymsu,:109-111). Menurut sejarah Goa, pada masa Raja Tunipalangga, datanglah seorang nakhoda Bonang yang memimpin pedagang Melayu dari Pahang, Patani, Johor, dan Minangkabau. Pada masa Raja Tunnijallo (1565-1590) didirikan perkampungan Islam atas izin raja. Adapun raja di Sulawesi yang pertama memeluk Islam adalah Raja Tallo atau Mangkubumi Goa yang bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri yang kemudian bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Setelah itu disusul raja Goa yang bernama I Managarangi Daeng Manrabia yang kemudian bergelar Sultan Alaudin. Ulama yang berjasa dalam pengislaman Goa-Tallo adalah tiga ulama dari Minangkabau yaitu Katib Tunggal atau Datuk Ri Bandang, Katib Sulung atau Datuk Ri Patimang dan Katib Bungsu atau Datuk Ri Tiro pada tahun 1603. Pada tahun yang sama ketiganya juga berhasil mengislam Luwu dan Wajo. Raja Luwu La Patiware Daeng Oarabu memeluk Islam dan bergelar Sultan Muhammad Waliyullah Mudharuddin. Sementara itu Islam masuk ke Sulawesi Tengah dibawa oleh oleh orang-orang Bugis. Ulama yang berjasa menyebarkan islam di Sulawesi Tengah adalah Sayid Zein Al-Aydrus serta Syarif Ali yang kawin dengan putri bangsawan Buol. Salah seorang syarif yang bernama Ali Syarif Mansur bersama 40 pengikutnya berangkat ke Menado untuk menyiarkan Islam di sana. Di Palu, pengislaman dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri madrasah/pesantren Al-Khaerat. Di Boolang Mangondow, Sulawesi Utara, Raja Jacob Manopo (1689-1709) masuk Islam melalui seorang Sayid Husein bin Ahmad bin Jindan dari Sulawesi Selatan. Orang-orang Arab juga punya peran besar dalam menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Buton. Sebelum masuk Islam pada sekitar abad XI, Raja Buton beragama Hindu-Budha. Tapi, setelah Raja Halu Oleo memeluk Islam, Buton resmi menjadi Kesultanan Islam. Raja Halu Oleo berganti nama dan gelar Sultan Qaimuddin. Para ulama yang berjasa dalam proses islamisasi ini adalah Syekh Abdul Wahid, Syarif Muhammad, Firuz Muhammad dan Sayid Alwi. Syarif Muhammad dikenal dengan Saidi Raba dan kemudian menjadi menantu Lang Kiri atau Sultan Buton ke-19 yang bergelar Sultan Ahiyuddin Darul Alam yang berkuasa antara tahun 1712-1750 M. Sejak tahun 1550-an Kalimantan bagian selatan juga mulai diislamkan. Menjelang kedatangan Islam di kalangan kerajaan terjadi perebutan kekusaan antara Pangeran Tumenggung dan Raden Samudera. Raden Samudera meminta bantuan Demak. Demak mengirimkan bantuan dan menyertakan seorang penghulu. Setelah Raden Tumenggung dapat ditundukkan, Raden Samudera memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Suryanullah. Sedang di Tanjung Pura (Kalbar), Islam diperkenalkan oleh Syekh Husein dan berasil mengislam Raja Giri Kusuma. Ia kemudian dikawinkan dengan putri Giri Kusuma dan menurunkan raja-raja Tanjung Pura. Ulama lain yang berjasa menyebarkan Islam di Kalimantan Barat adalah Syarif Idrus yang menurunkan raja-raja Kubu, Syarif Husein Al-Gadri yang menurunkan raja-raja Pontianak. Syarif Husein meninggal dan dimakamkan di Mempawah. Menurut Hikayat Kutai, dua muballig yang berperan dalam menyebarkan Islam di Kalimantan Timur adalah Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan yang sebelumnya telah menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan. Setelah Raja Mahkota masuk Islam Datuk Ri Bandang kembali ke Sulawesi Selatan, sedangkan Tuan Tunggang Parangan menetap di Kutai. Peristiwa masuk Islam Raja Kutai dan penyebaran Islam di sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575. (Abdullah (ed.), 1999:: 17) Sementara itu, Islam masuk Nusa Tenggara diperkirakan pada abad ke-16. Sunan Prapen, putra Sunan Giri, adalah tokoh penyebar Islam di Lombok. Dinasti Selaparang adalah yang pertama kali memeluk Islam. Sunan Prapen dalam dakwahnya membawa sejumlah pengiring dan ulama. Diantara mereka ada yang pandai memainkan wayang, yang kemudian menjadi media Islamisasi di Lombok. Disamping itu ada dua ulama lain pada abad ke-17 dalam peran dakwah itu, yaitu Habib Husin bin Umar dan Habib Abdullah Abas, keduanya Arab Hadramaut. Sedangkan di Sumba Syarif Abdurrahman Al-Gadri dibuang pada tahun 1836 ke Sumba lalu menyebarkan Islam di sana. Syekh Abdurrahman dari Benggali menyebarkan Islam di Sumbawa dan Timor. Tokoh lain adalah Pangeran Suryo Mataram, pejuang perang Diponegoro. Setelah ia di buang ke Kupang oleh Belanda, ia aktif menyebarkan Islam di sana. Dan masih ada ulama lain yang ikut berperan dalam penyebaran Islam di Nusa Tenggara.
0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar